Diam-diam Saya Buat Catatan Ini

Inilah sebuah catatan dari salah satu pertemuan kami, aku dan seorang teman karibku. Seorang sahabat yang selalu mengumbar senyum ceria nan penuh semangat. Namun, tahukah bahwa dalam saat tertentu dia begitu sangat menyedihkan. Saat kutanya mengapa kau tak menunjukan sisi yang ini kepada yang lain. Cukuplah Allah dan engkau yang mengetahui sisi lemahku.

Ya, akulah yang paling dekat dengannya. Melebihi siapapun. Orangtua, saudara kandung, teman sekolah, teman lembaga yang dikenalnya saat kuliah. Saya tak iri jika dia hanya membagi bahagia dengan mereka, sedangkan dengan saya ditambah rintihan-rintihan kesakitannya. “Di depan mereka saya harus terlihat tegar, lihatlah saya masih kuat dan siap menerima tugas apapun.”, azamnya suatu ketika.

Kini sahabatku itu baru saja bercerita dalam tangis hatinya. Ketika dhuha datang dia sudah bercerita dengan Rabbnya dan selanjutnya giliran saya. Saya pun ikut menangisinya dengan hati pula. Merasakan perih dan kebingungan hatinya. Mungkin itulah yang membuatnya betah berlama-lama dengan saya.

“Serasa ingin melepas semua ini.”, berontaknya.

“Apakah itu yang terbaik, kawan”.

“Ya untuk saat ini.”, suaranya makin lirih

“Ingatlah, kau sudah melaporkannya pada Allah, Dia adalah sebaik-baik penolong”, kucoba kuatkan dia.

“Tapi aku tak sanggup, cukuplah sampai disini. Meski mereka akan bertanya dan mencemoohku.”

Mereka? Mereka siapa?, tanyaku.

“Mereka orang yang selalu melihatku dalam ketegaran. Mereka yang hanya dangkal dalam menasehatiku. Mereka yang tak tahu aku. Mereka yang selalu memintaku. Mereka yang selalu menjanjikan aku. Mereka yang siap menuntut. Mereka yang………..”. Tak sempat ia selesaikan, kini ia benamkan mukanya dalam bantal dan tertidur.

Masih kupandang lekat wajahnya. Aneh memang, tak ada airmata yang mengalir. Padahal baru saja kulihat rintihan paling pedih dari hatinya. Sedangkan aku. Hanya mendengarnya saja, mataku sudah sembab. Itulah yang membuatku semakin kasihan dengannya.

Bisa kutebak. Setelah terbangun dia akan bergegas. Cuci muka. Melihat jam. Merapikan pakaian. Menatapku dan mengucapkan kalimat, “Sorry Bro, saya buru-buru mau ke kampus lagi nih.”  Dan senyumnya itu kembali berkembang.
Tebakanku kini benar lagi. Dia telah pergi dari kamarku. Bersama kembali dengan mereka. Kembali akan terlihat ceria.

Begitulah dia. Tak ada jaminan bahwa dia tidak akan kembali seperti tadi. Saat kepalanya sudah terlalu penuh memikirkan masalah. Setalah mengadu dalam sholatnya, dia akan menemui saya. Berbicara sepuasnya. Meski saya telah usang dan tergantung di sudut kamarnya. Meski hamya sebuah cermin yang membuat dia dapat berbicara pada dirinya sendiri.

Kamar bawah tangga, 2Juni 2010
Pkl 13.15

4 tanggapan untuk “Diam-diam Saya Buat Catatan Ini

  1. diam-diam juga saya sepertinya pernah membaca tulisan ini

    bagus, penuh makna, dan butuh pendalaman dlm membacanya
    namun sya msh penasaran dg tokoh cerita
    apakah ‘aku’ itu ada?
    atau ‘aku’ itu hanya cermin yg usang tergantung di sudut kamar?
    semoga mata yg sembab itu bermakna..

    1. Seorang cerpenis (Af. sy lupa namanya) pernah berkata,
      Jangan kau umumkan bahwa
      “Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kemiripan nama, tokoh, tempat dll adalah ketidaksengajaan pengarang”
      Jangan begitu katanya.
      Biarkan pembaca menerka dan penasaran.
      Karena itu jadi indikasi tulisanmu dibaca benar oleh orang.

Selesai membaca, silahkan tulis komentar sahabat di bawah ini ↓