Ketika Siswa Marah Kepada Gurunya (II)

Guru marah kepada siswa itu biasa. Tapi kalau siswa marah kepada gurunya? Bisa juga. Saya pernah membagikan pengalaman ketika siswa marah kepada saya di tulisan Ketika Siswa Marah Kepada Gurunya (I). Dari pengalaman itu, saya benar-benar mendapatkan pelajaran besar dalam mengajar. Apa saja?

Pertama. Siapkan kondisi fisik sebelum mengajar agar benar-benar prima.

Kondisi fisik memang sangat mempengaruhi aktivitas kita, baik emosi, daya pikir atau kekuatan tubuh itu sendiri. Dalam hal mengajar, fisik siswa maupun guru harus benar-benar diperhatikan. Pengalaman mengecawakan siswa itu bisa saya jelaskan seperti berikut ini.

Saat itu siswa benar-benar lelah. Ia pulang sampai sore dari sekolah. Sementara di lain sisi, saya sebagai guru juga tak kalah lelah. Seharian berada di kampus untuk menyelesaikan tugas akhir juga menguras banyak energi dan pikiran. Kemudian keduanya di pertemukan untuk bersama-sama memutar otak kembali agar pekerjaan rumah (PR) dapat dikumpulkan siswa besok pagi. Dampaknya adalah emosi dan rasa kesal yang tiba-tiba muncul ketika pikiran kami beradu dengan fisik yang tak lagi mendukung.

Sebuah nasehat sederhana bagi sahabat pengajar lainnya. Jangan ambil resiko dengan mengajar pada saat kondisi tubuh tidak memungkinkan. Selain itu usahakan untuk beristirahat yang cukup sebelum waktu untuk mengajar. Misalnya saja bagi yang mengajar di pagi hari memliki tidur malam yang cukup. Usahakan betul agar tidak begadang. Bagi yang mengajar sore atau malam seperti saya, manfaatkan waktu siang menjelang mengajar dengan merilekskan badan.

Kedua. Pada kondisi tertentu, hindari memberi banyak soal yang sukar.

Soal yg diberikan pada para siswa jangan disepelekan. Ia dapat memantik keingintahuan, tapi juga dapat pula merusak nalar dan mental.” Begitu kata dosen kami, Pak Dwi Budianto pada akun twitternya. Memang harus kita akui tidak semua siswa senang jika kita beri pertanyaan. Apalagi jika soal tersebut cukup sulit untuk diketahui jawabannya, membutuhkan waktu lama dan banyak jumlahnya.

Dalam kasus yang saya alami, saat itu soal dari siswa yang disodorkan pada saya cukup banyak. Belum lagi tipe soal uraian Fisika sering beranak-pinak. Misalnya, satu soal memiliki butir pertanyaan a – d dan semuanya saling berkaitan satu sama lain. Jadi, meski tertera ada 5 soal, namun sebenarnya pertanyaan yang harus dijawab bisa mencapai 20 soal. Nah, bagaimana kalau soal dari guru saat itu mencapai 20 belum lagi ada butir pertanyaan sampai poin “e”.  Huh!

Bagi rekan pengajar yang belum mempercayakan siswa bisa belajar secara mandiri memang sebaiknya sering memberikan PR. Namun perlu untuk memperhatikan jumlah dan tingkat kesulitannya. Bahkan untuk urutannya pun tidak luput harus kita perhatikan. Selain mempertimbangkan kesesuaian urutan materi, tingkat kesulitan sebaiknya diurutkan dari yang termudah hingga yang tersukar. Tujuannya adalah membangun kepercayaan diri siswa saat mengerjakannya.

Ketiga. Berikan deadline yang tidak memberatkan siswa

Batas waktu pengumpulan tugas seringkali menjadi hal yang menakutkan bagi siswa. Banyak diantara mereka cukup kelimpungan mengatur waktu mengerjakan tugas suatu mata pelajaran. Sebagian siswa saya rata-rata sering pulang lebih larut dari siswa pada umumnya, karena memiliki aktivitas ekstrakulikuler, les pelajaran, les kesenian bahkan bekerja sambilan. Belum lagi harus mengerjakan beragam tugas sekolah dari mata pelajaran lainnya.

Jujur saja, apa yang saya ceritakan di artikel sebelumnya,  bukanlah kasus yang pertama. Dengan deretan pertanyaan yang tidaklah sedikit, waktu pengumpulan tugas yang ternyata sangat mepet. Pada kasus yang saya temui ini, si siswa memiliki agenda ekstrakulikuler hingga sore. Sedangkan tugas yang tadi siang ia dapatkan harus dikumpulkan pagi harinya. Bukankah ini sangat memberatkan. Alhasil rasa frustasi ini terakumulasi menjadi emosi.

Jika ada di antara kita yang berpikir tugas mereka memang untuk belajar, saya ajak kembali ke topik seputar memahami. Mari kita lihat aktivitas siswa-siswa kita. Apakah bijak jika tugas yang bertujuan membantu kepemahaman siswa dalam belajar justru malah membenani mereka. Nah, kita yang selaku pengajar dan mengaku sebagai sahabat siswa semestinya mengetahui kondisi mereka.

Demikian apa yang saya pelajari ketika mendapatkan pengalaman “dimarahi” siswa. Tidak, saya tidak menyalahkan si siswa. Sebagai orang yang memang seharusnya lebih dewasalah yang harusnya lebih memahami. Jika telah mengetahui suatu kondisi, maka dengan cepat harus menemukan solusi. Semoga apa yang telah saya alami bisa dipetik sebagai pelajaran bagi sahabat pengajar semua. Selamat memahami !

sumber gambar: informasisurabaya.com dan bunderbunbun.blogspot.com

2 tanggapan untuk “Ketika Siswa Marah Kepada Gurunya (II)

Selesai membaca, silahkan tulis komentar sahabat di bawah ini ↓